Boomingnya filem Crazy Rich Asians yang seluruh pemainnya adalah orang Asia telah menyita perhatian berbagai kalangan. Lahirnya hastag kreatif seperti #CrazyRichSurabaya ternyata mampu menarik perhatian negara - negara Asia seperti Singapura dan Malaysia.
Terkontaminasi dengan viral tersebut, Maluku kini heboh dengan hastag #CrazyRichAmbon yang dibarengi dengan cerita - cerita singkat mengenai kejadian nyata perilaku orang Ambon yang bisa dibilang mirip dengan adegan - adegan filem Crazy Rich Asian.
Sejumlah kisah nyata seperti juragan emas Jacky Noya pun tak luput dari daftar cerita orang - orang kaya di Maluku. Saking kayanya, Jacky pernah membagi - begi emas secara cuma - cuma pada sejumlah warga di Ambon.
contoh uang koin yang tidak berguna di MTB |
Namun, taukah anda uang logam (recehan) di Pulau Yamdena/Tanimbar ternyata tidak dianggap sebagai uang ?
Dalam 15 tahun terakhir hingga artikel ini ditulis, masyarakat Yamdena bahkan jazirah tenggara raya tidak menggunakan uang logam sebagai alat tukar. Koin Rp. 50, 100, 200, 500 hingga 1.000 itu tidak dianggap uang oleh masyarakat MTB. Bagaimana bisa ?
Bagi kalangan wira usaha seperti di Saumlaki, mereka sering mengalami kesulitan dalam melakukan transaksi belanja. Misalnya jika harga mie instant 2.500 maka harganya menjadi 3.000 per bungkus atau 5.000 untuk dua bungkus. Jika pemilik toko memberikan uang kembali pada palanggan berupa uang koin, biasanya pelanggan akan beralasan uang logam itu berat, mudah hilang, atau bahkan ditertawakan. Jangankan uang koin, uang seribu kertas saja sudah jarang ditemukan peredarannya di Saumlaki.
Sehingga nilai transaksi yang paling kecil terjadi adalah pada nilai tukar 2.000 atau 5.000 rupiah. Ini biasanya terjadi pada harga kue lokal, roti goreng atau ampas terigu. Sisanya hanya berupa tarif ojek atau angkutan umum jarak pendek. Lalu bagaimana cara mengajarkan anak untuk menabung kalau anak - anak pun tidak menganggap uang logam sebagai uang ?
Hal ini menjadi salah satu faktor utama tingginya inflasi dan kemiskinan di Kepulauan Tanimbar. Berbagai upaya seperti sosialisasi oleh pemerintah hingga gerakan peduli koin yang pernah digencar di Saumlaki pun sepertinya tidak mencapai target. Masyarakat tetap tidak menggunakan uang logam sebagai alat tukar.
Sebenarnya, ini hanya masalah pilihan. Orang Tanimbar lebih suka menggunakan uang kertas sebagai alat tukar ketimbang uang koin. Biasanya kalau mereka punya uang logam, mereka akan menyimpannya untuk kurun waktu yang lama hingga dapat memenuhi satu koper untuk nantinya kalau berangkat ke Ambon, barulah uang ini digunakan atau menukarkannya di bank. Ini sudah menjadi tradisi penggunaan uang logam di Yamdena.
Fakta seperti ini sebenarnya bukan hal baru seiring viralnya hastag #CrazyRichAmbon.
Dengan demikian, solusi yang paling tepat adalah jika pemerintah daerah mau bekerja sama dengan pihak swasta untuk meluncurkan aplikasi (software) sistem pembayaran seperti pada kota - kota besar lainnya di Indonesia. Keuntungan menggunakan aplikasi sistem pembayaran pada smartphone adalah sangat menghemat dan presisi pada setiap nominal nilai tukar sehingga tidak ada kemungkinan naik turunnya harga barang secara sepihak dengan alasan tidak ada uang kembalian.
Apakah dengan 'tidak menganggap uang logam sebaik uang' seperti ini berarti orang Tanimbar adalah orang yang kaya raya seperti pada filem Crazy Rich Asian ?
#tahuribabunyi
Post a Comment