Setelah sekian lama tidak ada postingan (maklum admin kehabisan inspirasi), kali ini blog tahuribabunyi mengangkat konten seputar simbol kakehan yang mirisnya menjadi trending topik pada 2014 lalu ketika simbol - simbol adat ini dijadikan motif pada trotoar di sejumlah jalan Kota Ambon dan hingga detik ini belum ditanggapi dengan bijak oleh pihak terkait (Pemerintah Kota).
Sebelum kita masuk pada ranah simbol adat kakehan, sebaiknya kita mengetahui dulu apa itu kakehan, dan apa hubungannya dengan orang Maluku dari jaman purbakala hingga sekarang dan seterusnya.
Jika menggunakan pendekatan empiris historikal, maka Kakehan dapat diartikan sebagai suatu agama kuno yang mirip dengan agama hindu ataupun kaharinggan (kepercayaan orang Dayak). Namun secara mendalam, makna kakehan lebih dari itu.
Kakehan pertama sebenarnya berasal dari nama salah satu Moyang orang Maluku yang mewarisi kuasa dari pencipta semesta kemudian diwariskan pada generasi penerusnya yaitu Alune, saudaranya Wemale. Kemudian kakehan menjadi satu sistem adat yang mengatur tiga jenis relasi kehidupan Uru Siwa maupun Uru Lima (Uru:bahasa tana = Raga/Manusia).
Sistem adat kakehan sendiri memiliki tiga ruang lingkup utama yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan Pencipta Alam Semesta, manusia dengan sesama, serta manusia dengan alam (contohnya pada artikel ini
).
Pada setiap lingkup, kakehan memiliki ritusnya masing - masing. Misalnya pada lingkup manusia dengan sesama khususnya dalam seni berperang, setiap kabaresi/prajurit kakehan mempunyai ritual khusus mulai dari syarat perekrutan, masuk hutan (salah satu proses seleksi), penerimaan gelar dan tato, mengambil sumpah hingga turun medan pertempuran. Semua ada aturan dan ritualnya.
Hingga masa kolonial Belanda (VoC), setiap negeri - negeri adat yang berlokasi di gunung diharuskan turun dan melanjutkan hidup di daerah pesisir sehingga sistem perdagangan cengkeh pala dapat dikontrol oleh pemerintah. Di tahap ini, ada orang - orang yang memilih turun gunung dan ada yang memilih tetap di tempat mereka, sistem adat kakehan yang kompleks tersebut pun mengalami distorsi mengingat setiap Uru memiliki tugas dan fungsi masing - masing baik dari golongan Moni, Mahu, Tuni, maupun Marna (empat golongan utama dalam sistem pemerintahan negeri).
Adapun prosesi turun gunung secara bergelombang melewati tiga sungai Eti, Tala , dan Sapalewa yang ada di Pulau Seram Nusa Ina. Dalam proses ini, pasukan turun gunung membawa serta pusaka - pusaka setiap teun mataruma termasuk panji - panji mereka yang bercorak simbol - simbol kakehan untuk melanjutkan kehidupan di pesisir.
Dari gelombang pertama hingga akhir, prosesi turun gunung dilakukan dengan sangat sakral, hal ini dapat diketahui dari formasi mereka ketika turun gunung. Mulai dari Pemimpin Utama, Kapitan Muka, Masyarakat, Pasukan Perang hingga Kapitan Belakang, negri - negeri yang turun gunung pun berjalan kaki mencari tempat baru untuk membangun negeri baru, dan tidak setikit negeri yang tidak mendapat lokasi sehingga harus berlayar keluar Seram. Mereka ini tersebar dari Seram ke Maluku Utara, Buru, Ambon, Lease, bahkan ke Maluku Tenggara.
Sekalipun banyak orang Maluku yang sudah mengenal agama, tradisi kakehan masih tetap terjaga dan menjadi kebudayaan serta identitas orang Maluku. Hal ini dapat dilihat pada tiap - tiap negeri adat dalam melakukan peribadatannya, begitupun dengan orang - orang yang masih menjalankan tradisi perkawinan atau yang lebih dikenal dengan adat 'maso minta'. Semuanya merupakan sistem warisan leluhur yang mengerucut pada satu konsep yaitu kakehan sebagai sistem kehidupan.
Kembali ke topik utama.
Setelah mengetahui sedikit mengenai kakehan, pasti kita sudah bisa memetakan makna dari simbol - simbol kakehan berdasar ruang lingkupnya.
Mungkin motivasi pemerintah benar ingin memperkenalkan budaya pada generasi baru dengan meletakan lambang - lambang kakehan di atas trotoar, tapi apakah hal tersebut relevan dengan mahalnya warisan leluhur ?
Sekarang mari kita cek lambang salah satu mataruma/clan dengan pola dasar palang empat mata angin ini.
|
lambang kakehan di trotoar Jl. Pattimura |
Lambang ini mencangkup hubungan manusia dengan alam serta hubungan manusia dengan pencipta. Pencipta berada pada pusat lingkaran di tengah dengan interaksi manusia dan alam pada tiap sisi mata angin.
Mengapa lambang ini tidak dikonvert dengan huruf moderen saja, lalu tulisannya dicetak di atas trotoar sehingga nama - nama teun mataruma bisa terlihat dan terbaca jelas di atas trotoar ? atau tidak cukupkah tembok gedung dan pilar gapura sehingga trotoar pun menjadi alternatif promosi simbol kakehan ?
Andai saja semua masyarakan bisa memahami dengan susah payah simbol - simbol ini didapat dan dipertahankan, maka tidak akan ada satupun yang berani meletakannya di atas trotoar apalagi menginjaknya. Ini adalah simbol KEHORMATAN.
#tahuribabunyi