Teon Nila Serua : "Akankah kami hilang dari catatan sejarah Maluku ?"

"Sio TNS tanah airku, yang kupuja pada siang dan malam
Karna engkau ku sengsara, meninggalkan ibu bapa saudara
Biar dirantai dibunuh, beta tra lupa sejarahmu
Kuserahkan tenagaku, untuk membela nusa dan bangsaku -- Sio TNS"

Penggalan lirik di atas tidak asing lagi bagi darah keturunan Teon Nila Serua yang sekarang ini berlokasi di Kab. Maluku Tengah atau lebih tepatnya utara Amahai kecamatan TNS. Bukan hanya sekedar lirik, rangkaian kata tersebut merupakan fakta sejarah sekaligus menjadi pengingat akan sengsaranya berbagai proses yang telah dilalui orang TNS bahkan hingga sekarang ini.

Seperti negri - negri Maluku pada umumnya yang memiliki tanah dan wilayah kekuasaan sendiri, orang TNS dulunya mendiami tiga pulau kecil yang berada di tengah laut banda dan berdekatan dengan daerah MBD yakni Pulau Teon, Nila dan Serua. Mereka memiliki sistem pemerintahan dan identitas budaya yang identik dengan orang MBD (dulu masih disebut Maluku Tenggara Barat).

Tari Toniwowou
Tari Toniwowou
image source : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2LS30kqpofCnq2ylmD64uNo80aauVxIvOyk9ol9xwAXjo15hcp09IAXsltgaWbn2WxP0k0YlXwAUbahEqH9DkdLpX5AtybqEoJQEAgPrhPZwnbML0G8UYSqQrZIHA1UfD28yoivFuZqxj/s1600/Tari+Taniwowou+(Tari+Perang).jpg

Kekuatan kebudayaan TNS ternyata mampu menarik perhatian Presiden Soekarno yang kemudian mengundang orang TNS mementaskan sejumlah tarian adat di istana negara pada tahun 1959. Pada jaman itu, tarian yang paling terkenal yang dimiliki orang TNS adalah tari toniwowou (tari perang oleh pria) dan tari norinori (dipentaskan kaum perempuan).

Taraf sosial yang solid pun nyata dalam budaya mori uknu (sistem kekerabatan), puli (sumbangan wajib) dan wrau (pola gotong royong menyediakan makanan). Kehidupan normal seperti bercocok tanam dan melaut menjadi pekerjaan utama mengingat alam TNS memberikan begitu banyak hasil diantaranya lemon, cengkeh, ikan, kerang dll.

Hingga suatu masa dimana gunung berapi yang berada di pulau Nila mulai memberikan gejala - gejala buruk. Gunung berapi tersebut kemudian diteliti oleh sejumlah peneliti dari Ambon yang kemudian memberikan hasil positif berbahaya sehingga orang TNS terpaksa harus dievakuasi kembali ke Pulau Ibu. Proses evakuasi berlangsung secara bertahap dalam kurun waktu 1978 - 1981.

Tidak hanya evakuasi manusia, evakuasi budaya juga menjadi faktor yang tidak boleh dikesampingkan, oleh karena itu, pemerintah berusaha semaksimal mungkin memilih dan menyediakan tempat yang layak bagi orang TNS yakni tempat yang sekarang ini dikenal sebagai kecamatan TNS (Maluku Tengah). Namun sepertinya tidak semudah yang dibayangkan, setelah melalui proses evakuasi yang panjang, ternyata kondisi alam yang masih tergolong baru dan belum begitu rampung untuk dijadikan suatu desa (pada masa itu) memungkinkan sebagian orang TNS memilih merantau ke tempat lain, ada yang ke Ambon, Jawa dan sejumlah daerah lain.

Orang - orang TNS mulai tersebar di berbagai daerah. Hal ini merupakan ancaman akan terkikisnya budaya dan bahasa asli orang TNS itu sendiri, baik yang berada di tanah kelahiran maupun di perantauan. Oleh karena itu, demi menjaga dan melestarikan budaya asli TNS, ada baiknya jika semua orang dalam perantauan tetap kuat dalam persekutuan selaku darah keturunan TNS. 

Bagaimanapun juga pemerintah sudah melakukan yang terbaik agar beberapa mata rumah dan budaya TNS tetap terjaga seperti kondisi sekarang di kecamatan TNS. Sekarang tinggal bagaimana generasi penerus berdarah TNS atau bahkan semua negri Maluku bersama - sama berkontribusi melindungi dan melestarikan warisan para pendahulu demi mencapai taraf hidup yang lebih baik.



#tahuribabunyi

Share this:

 
Copyright © tahuribabunyi. Designed by OddThemes