15 Tahun berlalu setelah kenangan pahit harus ditelan sebagian besar basudara di Ambon karena tragedi Ambon Berdarah sekaligus menjadi pelajaran penting karena bermula dari hal kecil yaitu percecokan antara preman pasar dan supir angkot saja bisa menimbulkan perang yang besar dengan memakan ribuan korban jiwa. Semoga kejadian semacam ini tidak terulang lagi karena melihat raut wajah, tatapan dan air mata dari setiap korban kehilangan tentunya lebih menyakitkan dari tikaman sebuah parang.
Berbagai cara diupayakan warga kota tercinta untuk memendam kenangan pahit itu atau bahkan mengantisipasinya. Pemerintah pun tidak segan - segan untuk melepas sejumlah personel kepolisian termasuk intelijen untuk berjaga di tiaip titik rawan kerusuhan. Cap Ambon Manise yang berarti maju, aman, nyaman, indah dan sejahtera itu seakan hilang begitu saja dan kisah dibalik semua itu seakan sulit untuk diceritakan dan justru memilih untuk dipendam. Namun dari semua keterpurukan itu, ada banyak perubahan yang terjadi di Kota Ambon tercinta yang mencangkup banyak aspek yaitu;
- Lokasi vs lokalisasi
karena perang yang terjadi adalah perang agama maka sekarang tempat tinggal warga kota terpetakan berdasarkan agama mayoritas kristen dan muslim padahal sebelum pasca kerusuhan, warga cenderung berbaur satu sama lain walaupun beda agama, ras maupun soa tertentu. sebagai contoh; daerah Batu Merah, Pohon Pule, Taman Makmur dll cenderung mayoritas muslim dan daerah Benteng, Kudamati, Batu Gantong dll, cenderung mayoritas kristen. Tapi mau bagaimana lagi, ujung - ujungnya juga semua akan bertemu dan berbaur seperti di pasar mardika atau mall, bahakan mudah untuk dibedakan dari cara sapaannya. yang kristen cenderung menggunakan kata "kaka" dan "uci" dan yang muslim cenderung menggunakan kata "abang" dan "caca". - Taman Kota vs Taman Pelita
Kalau sekarang, jika ditanyakan pada jujaro mungare "dimana letak gong perdamaian?" semua akan sepakat menjawab "di taman kota" tapi coba saja tanyakan kepada opa - opa apalagi yang sudah veteran, pasti mereka akan menjawab "di daerah taman pelita". Ya, taman kota yang kita kenal sekarang adalah area taman pelita pada jaman dahulu dan juga merupakan pusat jajanan malam sepanjang jalan A.Y. Patty. Semoga dengan adanya Gong Perdamaian di tempai ini, diharapkan tidak adalagi konflik - konflik yang terjadi. - Identitas Pela Gandong
Hal ini yang paling tragis karena sebelum tahun 1990an Pela Gandong dikenal tidak memandang agama, ras, bulu, suku bangsa dll, tetapi justru sebagai media pemersatu berdasarkan perjanjian yang mengikat dan diturunkan secara terus menerus di setiap generasi. Namun ketika melewati area 1990an khususnya pasca Ambon Berdarah, pela gandong seperti tidak mampu untuk atasi peristiwa pahit tersebut bahkan hingga sekarang ada beberapa desa yang sudah putus hubungan pela sehingga tidak ada setikitpun aktifitas seperti panas pela (yang terkesan sakral). misal pada desa Passo yang memiliki hubungan pela dengan desa Batu Merah dimana daerah Passo sendiri mayoritas kristen dan daerah Batu Merah yang mayoritas muslim.
3 hal di atas mungkin sedikit dari banyak perubahan yang terjadi yang dapat mengancam identitas orang Ambon sendiri pasca perang Ambon Berdarah. Agar kemungkinan buruk itu tidak terjadi, mari katong sama - sama jaga katong pung hubungan Pela Gandong supaya bisa buktikan lae voor dunia kalo Ambon yang dong tau waktu dolo tu akang masi sama yaitu AMBON MANISE yang berarti Ambon yang maju, aman, nyaman, indah dan sejahtera.
#TahuriBabunyi
#TahuriBabunyi
Post a Comment